Minggu, 30 Oktober 2011

JURNAL HAKIKAT MANUSIA (KELOMPOK 2)


HAKIKAT MANUSIA

Oleh
Kelompok II
Ali Akbar
Febry Malinda
Imam Gozali
Marini Sinaga
Rahmawaty
Yunita Simbolon


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2011


ABSTRAK
Sifat hakikat manusia dan segenap dimensinya hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Ciri-ciri yang khas tersebut membedakan secara prinsipil dunia hewan dari dunia manusia. Adanya sifat hakikat tersebut memberikan tempat kedudukan pada manusia sedemikian rupa sehingga derajatnya lebih tinggi daripada hewan dan sekaligus menguasai hewan. Salah satu sifat haikat yang istimewa adalah adanya kemampuan menghayati kebahagiaan pada manusia. Semua sifat hakikat manusia dapat dan harus ditimbuhkembangkan melaui pendidikan. Berkat pendidikan maka sifat hakikat manusia dapat ditumbuhkembangkan secara selaras dan berimbang sehingga menjadi manusia yang utuh.

PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk Tuhan yang otonom, berdiri sebagai pribadi yang tersusun atas kesatuan harmonis jiwa raga dan eksis sebagai individu yang memasyarakat. Manusia lahir dalam keadaan serba-misterius. Artinya, sangat sulit mengetahui mengapa, bagaimana, dan untuk apa kelahirannya itu. Yang pasti diketahui ialah bahwa manusia dilahirkan oleh Tuhan melalui manusia lain (orang tua), sadar akan hidup dan kehidupannya dan sadar pula akan tujuan hidupnya, yaitu kembali kepada Tuhan. Kehadirannya kedunia seperti buku tanpa bab pendahuluan dan penutup. Ia hanya menghadapi isinya saja. Ia harus menyusun sendiri bab pendahuluan dan penutupnya itu berdasarkan fakta yang tersirat dalam lembaran- lembaran isinya. Oleh Karena itu setiap orang akan cenderung berbeda pandangannya tentang ide pendahuluan buku yang menggambarkan asal-usul dan ide penutup buku yang menggambarkan tujuan akhir hidupny nanti. Hal ini karena setiap orang tidak sama kemampuan imajinasinya terhadap lembaran; lembaran isi buku yang menggambarkan fakta atau kenyataan hidup ini. Perbedaan- perbedaan itu hendaknya justru ddipandang sebagai sumber kekayaan pengetahuan tentang misteri hidup dan kehidupan manusia.
Kenyataan diatas menjelaskaan bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk yang lemah, yang keberadannya sangat tergantung kepada penciptanya. Akan tetapi kebergantungan terhadap sang penciptanya tersebut bukanlah semata- mata, melainkan ketergantungan (dependence) yang berkeleluasaan (independence). Manusia menerima ketergantungan itu dengan otonomi, independensi, serta kreativitasnya sedemikian rupa sehingga mampu mempertahankan dan membanggakan hidup dan kehidupannya.
Manusia mempunyai ciri yang istimewa, yaitu kemampuan berpikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya (sehingga sering disebut sebagai makhluk yang berkesadaran). Aristoteles memberikan identitas sebagai animal rationale. Apa yang dipikirkan? Terpusat pada diri sendiri; asal- mulanya, keberadaan, dan tujuan akhir hidupnya. Pengenalan manusia terhadap segala sesuatu di sekelilingnya diawali secara refresif: makanan, minuman, pakaian, dan lain- lain. Selanjutnya dikenal pula orangtua, saudara, dan orang lain dalam hubungan yang semakin jauh. Berkat perkembangan alam pikiran dan kesadarannya, manusia mulai mengenal makna masing- masing secara kritis. Kemudian kedudukan, fungsi dan keterkaitan antara satu dengan yang lain, yang membuat esensi dan eksistensi setiap hal menjadi semakin kreatif. Kreativitas ini memungkinkan manusia membuat makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain dengan memanfaatkan sumber daya alam sekitarnya, termasuk juga menciptakan group- group social yang baru.(Soetriono dan Rita;2007)
Sudah berabad- abad lamanya manusia berusaha memecahkan masalah dan berusaha mengungkapkan kebenaran- kebenaran tentang manusia. Menurut Gabriel Marcel, manusia bukanlah problema yang akan habis dipecahkan, melainkan misteri yang tidak mungkin disebutkan sifat dan cirinya secara tuntas karena harus dipahami dan dihayati. Dalam membahas sejarah pemikiran manusia, Ernest Cassirer menandaskan adanya krisis pandangan manusia pada dewasa ini. Sebab dalam keragaman pandangan tentang manusia, tidak ada lagi suatu gagasan sentral, l’idee maitresse untuk meminjamkan istilah Taine, yang mencerminkan kesatuan kodrat manusia. Secara empiris masing- masing pemikir meredusir manusia pada kenyataan faktis semata- mata sesuai dengan sudut pandang yang dipakainya. Dengan demikian, Freud menganggapnya sebagai nalari seksual, Marx menghargainya sebagai naluri ekonomis, sedangkan Nietzche memerasnya sebagai der Wille zur Macht sebagai kehendak menuju kekuasaan belaka.(Surajiyo; 2005).

PEMBAHASAN

A.    Beberapa Pandangan Manusia
a.       Manusia itu adalah makhluk berpikir (homo sapiens), biasanya berpikirnya manusia itu adalah kalau dihadapkan pada masalah-masalah terutama masalah yang menyangkut kehidupan sehari-hari, dari masalah yang sederhana sampai kepada masalah yang rumit, kemudian ia berpikir juga tentang gajala-gejala alam yang diamayinya, ai terundang untuk menyelidiki, ia menyelidiki terus dan sampai menemikan jawaban.
b.      Manusia juga adalah makhluk yang suka berbuat, suka menciptakan dan menghasilkan sesuatu (homo faber), memiliki kreatifitas yang tinggi dan rajin bekerja. Dari dahulu hingga sekarang setelah banyak yang dikerjakan dan dibuat manusia. Berburu, mengolah tanah menjadi lahan pertanian, ada kayu yang dibuat peralatan, dan yang lain-lainya.
c.       Manusia juga disebut dengan animal educandum, makhluk yang dapat didik, karena ia mampu berkata-kata dan berbahasa, mampu berkomunikasi dan menerima pesan-pesan mempunyai potensi untuk mengerti, memahami, mengingat dan berpikir.
d.      Manusia adalah makhluk yang suka berkawan, butuh mempunyai teman sehingga dikatakan manusia itu adalah suka berkelompok mengadakan hubungan social (zoon politicon). 

B.     Sifat Hakikat Manusia
Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi. Hal ini menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek melainkan praktek yang berlandaskan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis formatif. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal tentang ciri hakiki manusia. Bersifat normative karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuhkembangkan sifat hakikat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan. Uraian selanjutnya akan membahas pengertian sifat hakikat manusia dan wujud sifat hakikat manusia. Gambaran yang jelas dan benar tentang manusia itulah yang member arah tepat pendidik ke mana peserta didiknya harus dibawa.

1.      Pengertian Sifat Hakikat Manusia
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai cirri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya.
Bentuknya(misalnya orang utan), bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan menyusui anaknya, pemakan segala, dan adanya persamaan metabolism dengan manusia. Bahkan beberapa filosof seperti Socrates menamakan manusia itu Zoon Politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan yang sakit) (Drijarkara, 1992: 138) yang selalu gelisah dan bermasalah.



2.      Wujud Sifat hakikat Manusia
Wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki hewan) yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan yaitu:
a.       Kemampuan menyadari diri
Kaum rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki cirri khas atau karakteristik diri,. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) den dengan non-aku (lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan, lebih dari itu manusia dapat membuat jarak 9distansi) dengan lingkungannya baik yang berupa pribadi maupun nonpribadi/benda. Orang lain merupakan pribadi-pribadi disekitar, adapun pohon, batu, cuaca dan sebagainya merupakan lingkungan nonpribadi.
b.      Kemampuan bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan dirinya sebagai objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu, berarti manusia itu dapat menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja dalam kaitannya dengan soal ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan demikian manusia tidak terbelenggu oleh tempat atau ruang ini (disini) dan waktu ini (sekarang), tapi dapat menembus ke “sana” dan ke “masa depan” ataupun “masa lampau”. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Justru karena manusia memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka pada manusia terdapat unsur kebebasan. Dengan kata lain, jika seandainya pada diri manusia tidak terdapat kebebasan atau kemampuan bereksistensi, maka manusia itu tidak lebih dari hanya sekedar “esensi” belaka, artinya ada hanya sekedar “ber-ada” dan tidak pernah “meng-ada” atau ‘ber-eksistensi”.
c.       Pemilikan kata hati
Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati dan sebagainya. Conscience ialah “pengertian yang ikut serta” atau “pengertian yang mengikuti perbuatan”. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti juga akibatnya (baik atau buruk) bagi manusia sebagai manusia.

d.      Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan itu sendiri. Di sini tampak bahwa masih ada jarak antara kata hati dengan moral. Artinya seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari kata hatinya itu. Untuk menjabatani jarak yang mengantarai keduanya masih ada aspek yang diperlukan yaitu kemauan. Bukankah banyak orang yang memiliki kecerdasan akal tetapi tidak cukup memiliki moral (keberanian berbuat).
e.       Kemampuan bertanggungjawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggungjawab. Wujud bertanggungjawab bermacam-macam. Ada tanggungjawab terhadap Tuhan. Tanggung jawab terhadap diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam. Bertanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan norma-norma social. Bentuk tuntutannya berupa sanksi-sanksi social seperti cemohan masyarakat, hukuman penjara, dan lain-lain. Bertanggungjawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntutan norma-norma agama, misalnya perasaan berdosa, dan terkutuk.
f.       Rasa kebebasan (Kemerdekaan)
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada duaa hal yang kelihatannya saling bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” yang berarti ada ikatan.
g.      Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk social. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada saat itu belum dipenuhi). Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lin yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang masih kosong. Artinya meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang mengetahuinya (misalnya hak memperoleh perlindungan hokum).
h.      Kemampuan menghayati kebahagiaan.
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan hidup hanya disebut ‘kebahagiaan” ini meskipun tidak mudah untuk dujabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan. Sebagian orang menganggap bahwa rasa senang hanya merupakan aspek dari kebahagiaan, sebab kebahagiaan sifatnya lebih permanen dari pada perasaan senang yang sifatnya lebih temporer.

C.    Aspek manusia
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa nanusia itu terdiri dari dua aspek yang esensial, yakni tubuh dan jiwa. Melihat peran dan fungsi dari kedua aspek yang saling berhubungan maka dapat dipersoalkan mana yang lebih penting, tubuh atau jiwa? Timbullah beberapa aliran, yaitu sebagai berikut:
·         Aliran Materialisme
Aliran materialism berpendapat bahwa yang penting adalah tubuh manusia. Jiwa dalam tubuh merupakan masalah yang kurang penting karena jiwa hanya membonceng saja dalam tubuh. Salah seorang tokohnya ialah Ludwig Feuerbach, yang berpendapat bahwa dibalik manusia tidak ada makhluk lain yang misterius yang disebut jiwa, seperti tidak adanya Tuhan dibalik ala mini. Selanjutnya ia berpendapat bahwa sesuatu itu disebut nyata apabila dapat dirasakan oleh panca indera. Manusia merupakan makhluk jasmani yang dinamis. Jiwa adalah gejala sampingan sebagai kesan subjektif yang timbul karena secara pribadi menghayati eksistensi kita sendiri. Jiwa sesuatu yang abstrak, hanya tubuh yangf merupakan sesuatu yang nyata dan benar, dan bersifat objektif. Filsafat yang dikemukakan oleh Feuerbach tersebut secara filosifi bersifat materialis, secara religious bersifat ateis, dan secara social- ekonomi bersifat sosialis- komunis. Filsafat tersebuut dalam abad XIX sangat berpengaruh atas pemikiran Karl Marx dan Friederich Engels.
·         Aliran Spiritualisme
Aliran spritualisme berpendapat bahwa yang terpenting pada diri manusia adalah jiwa(psyche). Tokohnya antara lain Plato, berpendapat bahwa jiwa lebih agung daripada badan, jiwa telah ada di alam atas sebelum masuk ke dalam badan, jiwa itu terjatuh ke dalam hidup duniawi, lalu terikat kepada badan dan lahirlah manusia yang fana. Dalam kerukunannya, jiwa dan badan tidak berdiri berdiri berdampingan secara setingkat, melainkan jiwa adalah sesuatu yang keadaannya bergerak sehingga mempunyai taraf realitas yang lain  jenis. Jiwa merupakan tawanan, dia terkurung dalam badan demi hawa nafsu yang pembebasannya dapat dilakukan dengan menjauhkan diri dari segala kegiatan indrawi badan dan mencari kebenarasn tidak melampaui penyerapan. Jiwa harus lepas dari pembusukan(kontaminasi) badan demi kemurniannya sehingga badan merupakan rintangan atau kontaminasi terhadap jiwa. Jiwa lebih asli daripada kenyataan duniawi dan mempunyai pertalian dengan nilai- nilai yang abadi. Dunia yang indrawi merupakan bayangan dari dunia itu sehingga tugas filsafat adalah melatih diri dalam menanggalkan hubungan yang mengikat jiwa dam merupakan persiapan untuk mati. Paham dari Plato yang spiritual itu bersifat ethis- religious.
·         Aliran Dualisme
Aliran dualism berpendapat bahwa tubuh dan jiwa sama pentingnya. Tokohnya antara lain Rene Descartes, yang mengatakan bahwa jiwa adalah substansi yang berpikir, sedangkan badan sebagai substansi yang berkeluasaan. Hubungan jiwa dan badan bukanlah sesuatu yang ditambahkan, melainkan sesuatu yang hakiki sehingga tanpa salah satu unsure itu bukan merupakan insane. Jiwa dan tubuh merupakan substansi yang tersendiri dan lengkap sebagai insane. Pandangan dualism ini dapat dibedakan atas paralelisme dan monism. Dalam paralelisme antara tubuh dan jiwa terdapat kesejajaran (paralel), keduanya sederajat. Adapun dalam monism antara tubuh dan jiwa telah terjadi perpaduan sehingga menunggal. Manusia disebut manusia dalam arti sebenarnya bila tubuh dan jiwa merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.

1.      Manusia Animal Rationale dan Animal Simbolicum
Dahulu manusia dianggap sebagai seekor hewan ditambah sesuatu yang ekstra (roh, akal budi). Manusia didefenisikan Animal Rationale (Aristoteles), seeekor hewan yang dilengkapi dengan akal budi. Gambaran itu kini sangat berubah. Di satu pihak  manusia lebih dekat pada hewan- hewan, dengan suatu cara yang diliputi kabut rahasia ia muncul dari alam hewani dengan meninggalkan sifat- sifat seekor hewan. Dilain sudut, selaku makhluk hidup sebagai subuah organism jasmaniah, ia berbeda dengan hewan- hewan.
Ernest Cassirer mengatakan bahwa biarpun reaksinya diperlambat, manusia tidak vital memberikan reaksi terhadap dunia luar. Reaksi itu diperlambat karena diselingi suatu tahapan peralihan, yaitu refleksi, namun penundaan itu mengandung suatu fungsi simbolis bagi manusia. Manusia tidak pernah hidup ditengah- tengah suatu dunia yang fisis dan factual semata- mata. Akan tatapi data- data yang diterma diolah lewat lambing- lambing, seperti misalnya konsep- konsep bahasa, agama, ilmu, dan kesenian. Manusia merupakan animal symbolicum, dunia manusia merupakan dunia yang ditafsirkan. Manusia dilukiskan berdasarkan data- data biologis, melainkan perbuatan kebudayaannya. Manusia tidak menjadi manusia Karena sebuah factor di dalamnya, seperti naluri atau akal budi melainkan fungsi kehidupan yaitu pekerjaannya, dan kebudayaannya.

2.      Manusia Mono Pluralis
Notonagoro dalam mengupas hakikat manusia dengan menggunakan metode abstraksi
metafisis, berpendapat bahwa manusia itu hakikatnya bisa dilihat dari tiga dimensi, yaitu sebagai berikut
a.       Dilihat dari susunan kodrat, manusia itu terdiri dari jiwa dan raga. Jiwa unsurnya ada cipta, rasa dan karsa. Raga unsurnya ada zat benda mati, hewani dan tumbuh- tumbuhan.
b.      Dilihat dari sifat kodrat , manusia itu terdiri dari sifat individu dan sifat social
c.       Dilihat dari kedudukan kodrat, manusia adalah makhluk individu dan makhluk Tuhan.(Surajiyo; 2005)

D.    Eksistensi Manusia
            Pendidikan merupakan kegiatan khas manusiawi. Hanya manusialah yang secara sadar melakukan pendidikan untuk sesamanya. Pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia, dan untuk manusia.oleh karena itu, pembicaraan tentang pendidikan tidak bermakna apa- apa tanpa membicarakan manusia. Menurut Alsyaibany, pembicaraan tentang wujud manusia amat penting dalam konteks filsafat umum dan filsafat pendidikan. Pembicaraan tentang manusia, siapa manusia, dari mana asal manusia, untuk apa manusia hidup, dan bagaimana fungsi manusia dalam hidup ini, serta mau kemana manusia adalah merupakan suatu pembahasan  yang sangat mendasar dalam filsafat pendidikan.
·         Manusia sebagai Makhluk Individu
            Manusia pada hakikatnya sebagai makhluk hidup yang unik., berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada manusia yang persis sama diciptakan Tuhan di jagat raya ini, walaupun pada manusia kembar sekalipun. Secara fisik mungkin manusia akan memiliki banyak persamaan, namun secara psikologis rohaniah akan banyak menunjukkan perbebaan.
            Kesadaran manusia akan diri sendiri merupakan perwujudan individualitas manusia. Kesadaran diri sendiri yang dimulai dengan adanya kesadaran pribadi diantara segala yang ada, merupakan pangkal segala kesadaran terhadap segala sesuatu. Inilah manusia inilah manusia sadar akan eksistensi dirinya. Eksistensi diri mendcakup pengertian yang luar termasuk percaya diri, harga diri, egoisme, martabat kepribadian, persamaan dan perbedaan dengan pribadi lain, dan yang sangat mendasar bagi realisasi dan aktualisasi diri.
            Manusia secara individu ingin memenuhi kebutuhan dan kehendaknya masing- masing, ingin merealisasikan dan mengaktualisasikan dirinya. Dalam arti ia memiliki kemampuan untuk mengembangkan  potensi- potensi yang dimilikinya. Setiap individu akan berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan jati dirinya yang berbeda dengan yang lainnya. Tidak ada manusia yang betul- betul ingin menjadi orang lain, dia tetap ingin menjadi dirinya sendiri, sehingga ia selalu sadar akan keindividualitasannya.
Menurut zantio Arbi dan Syahrun, setiap orang bertanggungjawab atas dirinya, atas pikiran, perasaan, pilihan, dan perilakunya. Orang yang betul0 betul manusia adalah orang yang bertanggung jawab penuh. Tidak ada orang lain yang dapat mengambil alih tanggungjawab dalam hidupnya. Kata hatinya adalah kata hatinya sendiri.
·         Manusia Sebagai Makhluk Sosial
            Manusia lahir ke dunia dari rahim ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apa- apa, ia lahir dalam keadaan tidak berdaya. Namun bersamaan dengan itu, ia lahir memiliki potensi kemanusiaan berupa kekuatan pendengan, kekuatan penglihatan, dan budi nurani. Potensi kemanusiaan tersebut merupakan model dasar bagi manusia untuk berkembang menjadi dirinya sendiri.
            Dalam proses pengembangan potensi kemanusiaan yang dimilikinya, tidak akan berlangsung secara alamiah dengan sendirinya, tetapi ia membutuhkan bimbingan dan bantuan manusia lain diluar dirinya. Sejak mulai lahir anak manusia akan berinteraksi dengan ibunya, dengan ayahnya, dengan saudara- saudaranya, dengan masyarakat disekelilingnya. Anak hanya hanya akan menjadi manusia kalau ia hidup bersama- sama dengan manusia lain diluar dirinya. Semua ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosiual. Anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan manusia, dari dank e dalam masyarakat
Perwujudan manusia sebagai makhluk sosial terutama tampak dalam kenyataan bahwa tidak pernah ada manusia yang mampu hidup tanpa bantuan orang lain. Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia hidup dalam kondisi saling ketergantungan, saling membutuhkan antar pribadi. Esensi manusia sebagai makhluk sosial ialah adanya kesadaran manusia tentang status dan potensi dirinya dalam kehidupan bersama dan bagaimana tanggungjawab serta kewajibannya di dalam kebersamaan tersebut.
            Menurut Kilpatrick, bahwa untuk hidup dalam artian yang benar- benar manusiawi, setiap orang harus hidup bersamaan dengan orang- orang lain. Dalam setiap kehidupan yang berhasil, masing- masing dapat keuntungan dari apa yang diperolehnya dari orang lain. Setiap kehidupan yang sepenuhnya manusiawi mencakup bagian yang esensial dari dirinya. Banyak unsur yang harus datang dari orang- orang lain. Keakuan manusia betul- betul banyak bertentangan pada kontribusi- kontribusi esensial dari orang- orang lain. Bagi pertumbuhannya yang baik, manusia memerlukan hasil- hasil pengalaman manusia sebelumnya.
Kehidupan sosial merupakan suatu realitas dimana individu tidak menonjolkan identitasnya, melainkan berada dalam kebersamaan, dan yang tampak adalah identitas sosialnya, dengan karakteristik keanekaragaman. Walaupun demikian, kehidupan individu dalam antar hubungan sosial tidak harus kehilangan identitasnya, karena kehidupan sosial merupakan suatu realitas yang sama, seperti kehidupan individu itu sendiri. Realitas kebersamaan sosial tidak hanya terbentuk oleh individu- individu, bahkan sebaliknya apabila hak- hak individu dalam kebersamaan sosial diperkosa, maka integritas sosial akan terganggu.
·         Manusia Sebagai Makhluk Susila
Manusia yang lahir dilengkapi dengan kata hati atau hati nurani, yang memungkinkan ia memiliki potensi untuk dapat membedakan perbuatan baik dan buruk, sehingga ia dapat memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan itu. Manusia sebagai makhluk susila mampu memikirkan dan menciptakan norma- norma untuk mengatur kehidupannya, baik kehoidupan individunya maupun kehidupan sosialnya. Manusia merupakan makhluk yang mampu memahami nilai- nilai susila, dan mampu mengambil keputusan susila serta sekaligus ia memiliki kemampuan untuk mengarahkan dirinya terhadap perbuatan susila dalam perilakunya.
Manusia bukan hanya organisme yang hanya mengetahui melainkan juga suatu organisme yang mampu menilai perbuatan susila. Ia dapat memberikanpenilaian terhadap perbuatannya sendiri dan perbutan orang lain sesamanya. Manusia susila adalah manusia yang memiliki, menghayati, dan melakukan nilai- nilai kemanusiaan. Manusia mampu mengkritilisasi dan mengintegrasikan nilai- nilai yang tumbuh semarak dalam pengalaman kehidupannya, menyatu dengan penghayatan nilai pribadinya, menjadi suatu pandanngan hidup yang tersusun secara sistematis dalam suatu sistem nilai.
Pandangan manusia sebagai makhluk susila didasari oleh kepercayaan bahwa budi nurani manusia memiliki potensi dasar nilai. Kedaran manusia akan nilai tidak dapat dipisahkan dengan realitas sosial, karena berfungsinya nilai- nilai atau efektifnya nilai- nilai hanya berada dalam kehidupan sosial. Jadi, kesusilaan atau moralitas merupakan fungsi sosial, sehingga setiap hubungan sosial, mengandung fungsi susila atau hubungan moral. Noor Syam mengemukakan bahwa: tiada hubungan sosial tanpa hubungan susila dan hubungan susila tanpa hubungan sosial.
Manusia Sebagai Makhluk Ber-Tuhan
Manusia merupakan makhluk yang memiliki potensi dan mampu mengadakan komunikasi dengan Tuhan sebaggai pencipta alam semesta. Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya sendiri, sadar akan fungsi nilai susila dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial, sadar akan fungsi nilai susila dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial. Labih meningkat lagi manusia adalah makhluk yang sadar akan adanya suatu kekuatan yang berada diluar dirinya, yang menguasai jagat raya ini, yang mengatur kehidupan jagat raya ini, Tuhan Yang Mahakuasa.
Dengan sadar akan adanya Tuhan dalam hidupnya, manusia akan selalu mempertimbangkan segala bentuk hubungan vertikal dengan-Nya. Manusia sadar bahwa Tuhan yang menganugerahkan ajaran- ajaran-Nya kepada umat manusia untuk dijadikan pedoman dalam memperoleh keselamatan hidup manusia itu sendiri, sehingga lengkaplah manusia. Selain menyadari pula akan adanya nilai- nilai susila vertikel yang bersumber dari Tuhan tersebut. Nilai- nilai vertikel yang bersumber dari Tuhan dimanifestasikan dalam aturan- aturan atau ajaran- ajaran agama.

E.     Pengembangan Dimensi- Dimensi Manusia Dalam Proses Pendidikan
·         Pengembangan Manusia sebagai Makhluk Individu
Anak memiliki potensi untuk berkembang yang ingin menjadi seorang pribadi, ingin menjadi pribadinya sendiri. Anak dalam perkembangannya akan memperoleh pengaruh dari luar, baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja, tetapi anak mengambil jarak terhadap pengaruh- pengaruh tersebut. Dia akan memilihnya sendiri. Pengaruh tersebut akan dia olah secara pribadi, sehingga apa yang ia terima akan merupakan bagian dari dirinya sendiri. Inilah yang disebut internalisasi diri, sehingga akan menjadi seorang individu yang unik, yang berbeda dan tidak sama dengan yang lainnya. Implikasi bagi pendidik berkaitan dengan pandangan diatas, pendidik harus sadar bahwa ia bukan satu- satunya manusia  yang berhak untuk mendidik anak tersebut. Pendidik tidak boleh memaksa anak untuk mengikuti atau menuruti segala kehendaknya, karena dalam diri anak ada suatu prinsip pembentukan dan pengembangan yang ditentukan oleh dirinya sendiri. Pendidikan hendaknya menghormati keindividualitasan anak, karakteristik individu anak, kepribadian anak, keunikan, dan martabatnya.
·         Pengembangan Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial tentu memerlukan pendidikan, karena pendidikan pada hakikatnnya berlangsung dalam suatu interaksi antar dua manusia atau lebih. Salah satu fungsi pendidikan adalah membantu perkembangan sosial anak, agar ia dapat menyesuaikan diri, serta mampu berperan sebagai anggota masyarakat yang konstruktif dan kreatif. Sebagai makhluk sosial, manusia dapat dipengaruhi oleh manusia lainnya. Selain memerlukan dan harus memperoleh pendidikan, manusia juga merupakan makhluk yang dapat menerima pendidikan karena ia dapat dipengaruhi oleh orang lain.
Pengembangan Manusia Sebagai Makhluk Susila
Pendidikan akan mencakup pengajaran dan pelaksanaan nilai- nilai. Isi atau materi pendidikan adalah tindakan yang akan membawa peserta didik mengalami dan menghayati nilai- nilai kemanusiaan, menghargai, dan meyakini, sehingga peserta didik membangun nilai- nilai kemanusiaan tersebut ke dalam kepribadiannya. Pendidikan merupakan upaya membantu dan membimbing peserta didik dalam mengembangkan dan memperkuat hati nuraninya, sehingga bagaimanapun pendidikan merupakan suatu peristiwa normatif.
·         Pengembangan Manusia Sebagai Makhluk Ber-Tuhan
Nilai- nillai yang bersumber dari Tuhan yang dimanifestasikan dalam ajaran agama, harus memayungi segala bentuk kehidupan manusia sebagai individu maupun sosial, termasuk di dalamnya pendidikan itu sendiri. Nilai- nilai agama bukan hanya sekedar dipelajari, namun lebih jauh harus dihayati, dan pada akhirnya diinternalisasikan menjadi milik pribadinya, sehingga manusia dalam segala perbutannya tidak akan terlepas dari nilai- nilai agama yang bersumber dari Tuhan yang sangat agung dan mulia.(Uyoh Sadulloh;2010)

PENUTUP
Manusia adalah makhluk Tuhan yang otonom, berdiri sebagai pribadi yang tersusun atas kesatuan harmonis jiwa raga dan eksis sebagai individu yang memasyarakat. Manusia mempunyai ciri yang istimewa, yaitu kemampuan berpikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya (sehingga sering disebut sebagai makhluk yang berkesadaran). Sifat hakikat manusia diartikan sebagai cirri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki hewan) yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan yaitu kemampuan menyadari diri, kemampuan bereksistensi, pemilikan kata hati, moral, kemampuan bertanggungjawab, rasa kebebasan (Kemerdekaan), kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak, kemampuan menghayati kebahagiaan.
Dahulu manusia dianggap sebagai seekor hewan ditambah sesuatu yang ekstra (roh, akal budi). Manusia didefenisikan Animal Rationale (Aristoteles), seeekor hewan yang dilengkapi dengan akal budi. Gambaran itu kini sangat berubah. Di satu pihak  manusia lebih dekat pada hewan- hewan, dengan suatu cara yang diliputi kabut rahasia ia muncul dari alam hewani dengan meninggalkan sifat- sifat seekor hewan. Dilain sudut, selaku makhluk hidup sebagai subuah organism jasmaniah, ia berbeda dengan hewan- hewan. Pendidikan merupakan kegiatan khas manusiawi. Hanya manusialah yang secara sadar melakukan pendidikan untuk sesamanya. Pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia, dan untuk manusia.oleh karena itu, pembicaraan tentang pendidikan tidak bermakna apa- apa tanpa membicarakan manusia.


Daftar Pustaka

Sadulloh, Uyoh. 2010. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung. Alfabeta
Soetriono dan Hanafie, Rita.2007. Filsafat Umum dan metodologi penelitian. Yogyakarta: Andi
Surajiyo. 2005.Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
Tim Pengajar Filsafat Pendidikan. 2011. Diktat Filsafat Pendidikan. Medan: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar